Autos.id — Kehadiran BYD Atto 1 di pasar Indonesia menarik perhatian banyak pembeli karena banderolnya yang tergolong agresif untuk sebuah city-EV. Namun, sebelum terbuai oleh angka OTR yang ramah kantong, ada baiknya kita memahami bagaimana skema pajak impor dapat mengubah harga secara drastis.

Terutama BYD Atto 1 di pasar Indonesia sendiri masuk dalam status jalur CBU (Completely Built-Up). Cara ini sendiri memang menguntungkan. Namun, apakah masih bisa dapat insentif terus-menerus? Jadi dalam kasus ini kita bahas detail bagaimana perhitungan pajak impor dan dan implikasinya ke konsumen.
Pertama-tama, mari lihat banderol yang diumumkan. BYD Atto 1 diposisikan sebagai city-EV entry-level dengan OTR Jakarta sekitar Rp 195 Juta untuk varian Dynamic, dan Rp 235 juta untuk varian Premium. Secara angka seh memang daya tariknya begitu kencang! Bahkan, beberapa faktor struktural bisa membuat pembeli optimis. Namun, masalahnya adalah ini bukan rakitan lokal apalagi pabrik BYD sendiri masih dalam tahap konstruksi.
Selanjutnya, kita memahami sendiri konteks pajak yang biasanya bebani kendaraan import. Perhitungannya sendiri sudah kita buatkan secara sederhana sekali. Jadinya kalian bisa berhitung berapa besar harga yang mereka tawarkan ke konsumen setelah insentif berakhir.

Jadi ada empat langkah ini mengeluarkan PPN dari OTR untuk mendapatkan harga dasar, mengenakan bea masuk 50%, lalu menerapkan PPnBM 15% dan akhirnya PPN 12% atas subtotal. Dengan kata lain, pajak-pajak ini punya pengaruh berlapis sehingga efeknya menjadi signifikan pada harga akhir.
Rumus singkat yang dipakai
- Harga Dasar = OTR ÷ 1,12
- Bea Masuk = 50% × Harga Dasar
- PPnBM = 15% × (Harga Dasar + Bea Masuk)
- PPN = 12% × (Harga Dasar + Bea Masuk + PPnBM)
- Estimasi Harga Impor = Harga Dasar + Bea Masuk + PPnBM + PPN
Lebih jauh lagi, bila dihitung secara pragmatis, hasilnya menunjukkan multiplier sekitar ×1,725 terhadap harga OTR artinya kenaikan sekitar +72,5% jika masuk skema CBU tanpa insentif.
Contoh hitungan realistis

Untuk menjelaskan lebih konkret, berikut dua skenario perhitungan menggunakan angka OTR yang ada untuk membuktikan seberapa besar pajak yang dibebankan oleh produsen ke konsumen.
Skenario A — OTR Rp 195.000.000 (varian Dynamic)
- Harga Dasar = 195.000.000 ÷ 1,12 = Rp 174.107.143
- Bea Masuk (50%) = Rp 87.053.571
- PPnBM (15% atas Harga Dasar + Bea Masuk) = Rp 39.174.107
- PPN (12% atas subtotal) = Rp 36.040.179
- Estimasi Harga Impor = Rp 336.375.000 (naik ≈ 72,5%)
Skenario B — OTR Rp 235.000.000 (varian Premium)
- Harga Dasar = 235.000.000 ÷ 1,12 = Rp 209.821.429
- Bea Masuk = Rp 104.910.714
- PPnBM = Rp 47.209.821
- PPN = Rp 43.433.036
- Estimasi Harga Impor = Rp 405.375.000 (naik ≈ 72,5%)
Dengan hasil angka tersebut, apakah kalian kepikiran kalau Pemerintah sendiri lagi kejar target? Atau memang pemerintah tidak punya insentif seperti tahun lalu? Entahlah, yang jelas dengan beban pajak yang begitu besar dan juga target deadline yang sebenarnya terlalu buru-buru. Membuat produsen sendiri harus berpikir ulang untuk keluarkan produk baru di tengah masalah insentif ini.

Lalu, kenapa BYD berani pasang harga murah? Itulah pertanyaan menarik, karena BYD sendiri sudah berkomitmen untuk bangun pabrik lalu komitmen aftersales dan masih banyak lagi. Belum lagi, subsidi mobil listrik ini beneran bikin senang konsumen tapi bikin pusing produsen.
Tentu saja, OTR murah ini tidak akan berlangsung lama kalau produk mereka masih gunakan Skema CBU. Alhasil, apakah pabrikan sebenarnya mau komitmen bangun pabrik atau hanya sekedar tes pasar saja?
Karya yang dimuat ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi autos.id.


























