Connect with us

Hi, what are you looking for?

Berita Otomotif

Industri Mobil Listrik Beneran Masih Oke?

Autos.id – Industri otomotif Indonesia sedang berada di persimpangan besar. Dalam tiga tahun terakhir, mobil listrik tidak lagi sekadar pajangan pameran atau bahan obrolan futuristik. Ia sudah menjadi bagian nyata dari jalanan kota besar, terutama di Jabodetabek.

Data menunjukkan penjualan mobil listrik periode 2023–2025 telah melampaui angka 100 ribu unit, dengan target populasi nasional mencapai 2 juta unit pada 2030. Jumlah merek pun melonjak drastis, dari hanya tiga merek pada 2023 menjadi sebelas merek per September 2025.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah mobil listrik akan tumbuh, tetapi sejauh mana Indonesia benar-benar siap menyambutnya.

Motor Penggerak atau Sekadar Dorongan Awal?

Percepatan adopsi mobil listrik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran kebijakan. Pemerintah memposisikan diri sebagai enabler melalui berbagai insentif, mulai dari pajak, kemudahan impor, hingga dukungan hilirisasi industri baterai. Dalam praktiknya, kebijakan menjadi simpul yang menghubungkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.

Namun, efektivitas kebijakan tidak hanya diukur dari keberadaannya, melainkan konsistensi dan koordinasi lintas kementerian. Industri otomotif bergerak dengan horizon investasi jangka panjang, sementara perubahan regulasi yang terlalu cepat atau tidak sinkron justru menciptakan ketidakpastian. Di titik ini, kebijakan idealnya tidak hanya mendorong penjualan jangka pendek, tetapi menjadi katalis kolaborasi lintas sektor yang berkelanjutan.

Konsumen Mobil Listrik Siap, Tapi Masih Selektif

Para pemilik MG ZS EV, MG 4EV, MG 4EV X-Power dan MG Cyberster yang tergabung dalam MGEVC berkumpul dalam rangka mengkampanyekan mobil listrik bebas emisi dan Road to Jakarta E-Prox 2-25.

Dari sisi konsumen, narasi yang bekerja paling efektif bukanlah isu lingkungan, melainkan ekonomi. Penghematan biaya operasional menjadi magnet utama. Biaya bulanan kendaraan listrik bisa turun hingga seperempat dibandingkan mobil berbahan bakar bensin. Insentif pajak dan biaya tahunan yang lebih rendah memperkuat daya tarik tersebut.

Menariknya, konsumen mobil listrik juga menikmati status sebagai early adopter. Mobil listrik merepresentasikan modernitas, tech-savviness, dan identitas progresif. Meski demikian, adopsi ini masih sangat rasional. Konsumen cenderung memiliki pola berkendara lebih terencana dan sangat mempertimbangkan aspek utilitas.

Dalam perjalanan keputusan pembelian, media sosial dan influencer berperan besar pada tahap awareness. Minat kemudian diperkuat oleh word of mouth dari lingkungan terdekat, sebelum masuk ke fase diskusi keluarga, test drive, hingga akhirnya dipicu promosi untuk keputusan final.

Segmentasi Pasar: Mobil Kedua untuk Kelas Urban

Wuling-BinguoEV

Profil konsumen mobil listrik saat ini relatif homogen. Mayoritas berasal dari kelas menengah ke atas di kawasan urban, khususnya Jabodetabek. Mobil listrik umumnya dibeli sebagai mobil kedua, setelah sebelumnya memiliki kendaraan bermesin konvensional.

Dari sisi usia, pasar terbagi dalam tiga kelompok utama: usia 25–35 tahun yang berada di fase awal karier, usia 36–50 tahun dengan kondisi finansial dan keluarga yang lebih stabil, serta kelompok usia 50 tahun ke atas yang melihat mobil listrik sebagai solusi mobilitas yang lebih efisien menjelang masa pensiun.

Konsentrasi pasar di kota besar tidak terlepas dari ketersediaan SPKLU. Infrastruktur ini menjadi penenang utama atas range anxiety. Namun, realitanya, konsumen masih enggan melakukan perjalanan jauh dan sangat bergantung pada home charging. Ketergantungan ini menunjukkan kesiapan berinvestasi jangka panjang, sekaligus menegaskan pergeseran mindset dari mobil sebagai aset investasi menuju alat utilitas.

Infrastruktur dan Purna Jual: Masih di Fase Belajar

Mobil Listrik di Indonesia_4d

Mobil Listrik di Indonesia.

Baik industri mobil listrik maupun konsumen saat ini berada dalam fase learning curve. Pengetahuan teknisi dan kesiapan layanan purna jual belum merata. Konsumen bahkan sering berperan sebagai sumber edukasi bagi sesama pengguna, sementara produsen mengandalkan feedback lapangan untuk menyempurnakan layanan.

SPKLU sendiri masih berada dalam tahap trial and error. Standar kualitas port, kapasitas, fasilitas, keamanan, hingga pemilihan lokasi strategis belum sepenuhnya seragam. Faktor-faktor inilah yang akan sangat menentukan kepercayaan konsumen ke depan.

Dinamika Pasar: Kanibalisme dan Perang Harga

Pertumbuhan mobil listrik dalam tiga tahun terakhir lebih mencerminkan peralihan konsumen dari mobil ICE, bukan perluasan pasar baru. Fenomena kanibalisme ini menandai bahwa industri memasuki fase persaingan price–performance.

Produsen menghadapi tekanan margin, siklus peluncuran model yang semakin pendek, serta ketidakpastian insentif. Pasar yang masih terkonsentrasi di kelas menengah atas urban juga menunjukkan bahwa adopsi mobil listrik belum inklusif. Di sisi lain, komunitas pengguna justru menjadi barometer penting keberhasilan produk sekaligus sumber insight bagi pengembangan berikutnya.

Peran Media Menerjemahkan Namun Banyak Tarik Menarik

Media memegang peran strategis dalam membentuk persepsi publik. Secara umum, tone pemberitaan mobil listrik cenderung positif. Tantangannya terletak pada keseimbangan informasi. Komunikasi pemerintah sering bersifat teknokratik, sementara industri cenderung promosi.

Meskipun jadi media pembelajaran. Justru hal ini malah datang dari kalangan pengguna EV itu sendiri. Malah media cenderung jadi corong Industri Mobil Listrik untuk sekedar memasarkan produk mereka. Namun, satu sisi ada juga tekanan ke Pemerintah.

Malah, komunitas dan pengguna EV di luar komunitas brand/merk berikan statement keras ke Industri. Hal ini terlintas jelas dari beberapa kali Influencer mengutarakan pengalamannya namun satu sisi berikan kritik tajam ke produsen soal produk dan after sales.

Tapi Belum Sepenuhnya Matang

Ekosistem dan Industri mobil listrik Indonesia saat ini berada dalam fase refleksi. Kebijakan publik telah menjadi pendorong utama, namun keberhasilannya bergantung pada konsistensi implementasi. Pasar tumbuh melalui peralihan konsumen ICE, industri masuk ke fase persaingan ketat, dan konsumen masih didominasi kelas menengah atas urban dengan motif ekonomi sebagai pendorong utama.

Keberhasilan elektrifikasi nasional akan sangat ditentukan oleh keseimbangan tiga pilar: kebijakan yang jelas dan konsisten, kesiapan industri dari hulu ke hilir, serta relevansi nyata bagi konsumen. Semua itu perlu diperkuat oleh komunikasi publik yang efektif dan edukatif.

Jika ketiganya selaras, mobil listrik tidak hanya akan menjadi tren sesaat, tetapi fondasi baru mobilitas Indonesia.

Karya yang dimuat ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi autos.id.

Baca Juga